Thursday 22 May 2014

Hak Asuh Anak

Kemarin malam adalah jadwal kuliah hukum Perdata. Setelah perkuliahan selesai, ada beberapa hal yang masih membuat kami bingung. Akhirnya kami memutuskan untuk menanyakan kepada dosen. Kita kadang terkecoh antara hak asuh dengan hak perwalian.

Ketika ada orang tua yang bercerai, mereka sering memperebutkan hak asuh atas anak mereka. Tetapi kadang mereka salah menggunakan istilah hak perwalian. Jika yang digunakan adalah hak perwalian, itu berarti mereka memperebutkan anak yang sebelumnya ada di bawah perwalian orang lain (bukan orang tua mereka). Padahal yang terjadi adalah anak diperebutkan oleh kedua orang tua mereka, sehingga istilah yang digunakan seharusnya adalah hak asuh anak. Yaitu hak untuk mengasuh anak pasca perceraian.

Sesuai Undang-undang, anak di bawah umur hak asuhnya adalah ada pada ibu, bukan ayah. Tetapi tidak menutup kemungkinan bagi ayah untuk mendapatkan hak asuh tersebut. Sebagai mahasiswi fakultas hukum, kami dibiasakan untuk berperan sebagai hakim, jaksa, dan juga pengacara. Jika kita sebagai pengacara, bagaimana cara kita untuk memenangkan perkara, sehingga hak asuh jatuh ke tangan ayah? Kita harus mempunyai argumen yang kuat dan memberatkan si ibu. Jahat memang, tapi begitulah tugas pengacara, yaitu memenangkan klien, dan dalam hal ini klien kita adalah si ayah.

Dalam contoh kemarin, kami membuat argumen bahwa si ibu tidak bekerja, sehingga tidak akan bisa menafkahi anak pasca perceraian. Dengan demikian, tidak dapat memenuhi kebutuhan si anak. Argumen kami langsung dibantah, karena meskipun sudah bercerai, ayah (mantan suami) tetap wajib menafkahi anak. Tanggung jawab ayah terhadap anak tidak luntur karena perceraian. Sehingga hal tersebut tidak dapat memberatkan si ibu untuk memperoleh hak asuh atas anaknya. Kami mencoba argumen lain, yaitu bahwa si ibu berkelakuan tidak baik, dan itu dapat mempengaruhi dalam membesarkan anak. Si ibu dianggap tidak cakap untuk mempunyai hak asuh trhadap anaknya. Dalam hukum perdata, kelakuan ibu/orang tua yang demikian dapat memutus hak asuh. Jika pengacara si ibu tidak dapat mematahkan argumen kami, maka kami menang, dan hak asuh akan jatuh ke tangan si ayah.

Satu hal yang saya ingat betul dari perkataan dosen pada akhir pertemuan, yaitu jika menjadi pengacara jangan terlalu mamakai perasaan. Terdengar cukup kejam memang, tapi ya begitulah adanya. Jika kita terlalu bermain perasaan, kita tidak akan memenangkan kasus yang kita tangani. Perlu mempertimbangkan lagi untuk memutuskan jadi pengacara. Yang penting harus tetap SEMANGAT!!!

No comments:

Post a Comment