Friday 19 December 2014

Hard work isn't enough

Entah, ingin sekali rasanya mengeluarkan perasaan yang tertahan.
Alhamdulillah, sebentar lagi UAS semester 3 akan dimulai. Yang berarti semester depan menjadi setengah jalan bagiku untuk menyelesaikan kuliah yang sempat tertunda.

Teringat kembali saat memutuskan untuk lanjut kuliah satu setengah tahun yang lalu. Berbagai kebimbangan, ragu, tapi keinginan sudah sangat kuat. Tapi entah kenapa saat itu segala kondisi sangat mendukung, sehingga akhirnya akupun memutuskan untuk mengikuti tes ujian masuk. Atasan di tempat kerja, kondisi keuanganku, rekan-rekan kerja, bahkan direksi juga setuju untuk memberi ijin. Alhamdulillah segala proses dimudahkan, aku berhasil diterima di Fakultas Hukum Unsoed kelas paralel (masuk sore). Dari akuntansi banting setir ke hukum. Ada perasaan kecewa juga, kenapa tidak bisa melanjutkan ke bidangku, yaitu akuntansi. Suatu bidang yang sudah aku pelajari selam 4 tahun sejak di bangku sekolah hingga ke tempat kerja. Tapi ini jalan dari Allah SWT, dan pasti ini yang terbaik. Insya Allah...Pada saat itu aku berpikir bahwa semua pasti akan baik-baik saja, pasti akan dimudahkan, pasti akan selalu ada jalan.

Awal perkuliahan sangat sibuk, masih sangat sulit untuk membagi waktu. Merasa takjub karena akhirnya bisa berproses di perguruan tinggi. Di sisi lain aku harus pandai-pandai membagi waktu, Kerjaanku yang tidak boleh terbengkalai, kuliahku yang baru dimulai juga harus diutamakan. Semuanya penting, tanpa pekerjaan ini pasti sulit bagiku untuk melanjutkan kuliah. Aku juga tidak bisa mengabaikan kuliahku ini, karena prinsipku adalah aku tidak ingin menyesal di kemudian hari. Selagi aku bisa dan diberi kesempatan, maka aku akan berusaha untuk melakukan yang tebaik. Aku ingin terus belajar sampai aku tidak bisa belajar lagi, sampai Allah menyuruhku untuk berhenti.

Dulu aku masih sering terlambat datang ke kantor. Tapi semenjak kuliah dimulai, ada keadaan yang harus dipaksakan. Aku harus berangkat lebih awal, bahkan sebelum semua orang datang. Tentu ini harus aku lakukan, karena nanti menjelang sore, sebelum semuanya pulang aku mendahului pulang untuk berangkat kuliah. Aku menikmati rutinitas itu, berangkat sangat pagi, kemudian dilanjutkan kuliah, pulang sampai di rumah sekitar jam 21.30, setiap hari. Tidak ada rasa penyesalan sama sekali, aku senang.

Begitulah, aku mulai sering ijin di tengah-tengah pekerjaan untuk urusan kuliah. Ada perasaan tidak enak, pasti. Setiap akan mengajukan ijin selalu ragu sebenarnya. Hal ini mungkin jadi terkesan bahwa aku sangat mengutamakan kuliah dibandingkan pekerjaan. Padahal jujur aku sangat bingung, aku bimbang jika harus menentukan mana yang akan diutamakan. Antara yang seharusnya dengan yang aku inginkan sungguh sulit.

Aku mulai kehilangan kedekatan dengan rekan-rekan kerjaku di kantor. Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja. Karena waktuku bersama mereka menjadi sangat sedikit. Tidak seperti dulu yang setiap hari pulang bersama, mampir makan bersama, belanja kebutuhan bulanan bersama, kadang-kadang nonton di bioskop. Untuk menjenguk rekan kerja yang sakit atau kondangan ke tempat mereka yang menikah pun terasa sulit. Akhirnya aku melalui semua itu sendiri. Inginnya dibawa enjoy, tapi dalam hati hanya aku yang tau. Ada rekan yang berkata "Kan kamu bisa pergi bersama teman kuliahmu?". Iya itu benar, sangat benar. Tapi, apa salah jika aku juga ingin bersama kalian? Sudah sangat lama lho....Kadang ketika ngobrol pun jadi banyak hal yang tidak aku ketahui, entah apa yang sedang mereka bahas. Aku menjadi 'kudet'  di antara rekan-rekan yang lain. Candaan-candaan yang ringan tidak lagi bisa membuatku tertawa lepas, karena ketika itu mereka tidak memandangku. Aku sadar, telah ada jarak di antara kami. Tapi mungkin itu hanya perasaanku saja, kebiasaanku yang sering berpikiran negatif. Kadang malah aku berpikir mereka bercanda untuk mereka sendiri, mereka ngobrol membahas sesuatu untuk mereka sendiri. Teman, ada Fero lho....!!! ppffffft......

Sementara hari-hariku di kampus juga tidak bisa dibilang mulus. Memang di KSM jadwal kuliahku paling awal dimulai pukul 14.40, tapi kebanyakan dimulai pukul 17.30. Aku pikir ini mudah untuk dijalani ke depannya, karena jam-jam itu sudah mendekati waktunya untuk pulang dari kantor. Sehingga aku tidak perlu merasa tidak enak ketika akan pergi kuliah. Tapi, kenyataan memang terkadang sangat bertolak belakan dengan yang diharapkan. Jadwal kuliah yang sudah sedemikian pas, dirubah sendiri oleh dosen dan mahasiswa yang lain dengan segala rupa daya upaya alasan yang terkadang akupun susah untuk menerimanya. Alasan dosen capek lah udah ngajar dari tadi, alasan kalau sore hujan lah, bahkan karena alasan ingin segera mudik, kuliah yang seharusnya untuk minggu depan dimajukan, dipaksakan untuk diadakan minggu ini. Padahal sudah pasti mereka yang usul itupun akhirnya terlambat untuk mengikuti kelas. Nanti ujung-ujungnya juga mengeluh "hari ini kuliah full banget ya, mana kuliah ini dimajuin lagi, masih ngantuk". Helloo....kemarin yang usul untuk dimajukan juga kalian. Merasa tidak dianggap, iya. Mereka tau persis jika aku pasti tidak bisa jika kuliah dimajukan, apalagi di pagi hari. Mungkin aku terlalu egois jika selalu menentang mereka, tapi jika harus selalu mengalah lama-lama hanya akan menumbuhkan penyakit hati. Astaghfirulloh...

Mungkin puncaknya adalah kemarin. Di kampus aku punya beberapa teman dekat, yang ketika semua orang tidak berpihak kepada kita, pasti ingin jika sahabat kita itu akan selalu ada di pihak kita apapun yang terjadi. Bagai disambar petir, mereka justru ikut mengusulkan kuliah untuk dimajukan dan diselesaikan minggu ini juga, agar minggu depan bisa mulai libur. Sakitnya tuh dimana-mana. Aku kecewa, dan akupun pulang tanpa ada kata terucap untuk mereka. Aku sadar bahwa tidak ada yang akan mendengar keluh kesahku, tapi aku ingin kalian mengerti dan mendengar.

Ketika menulis ini, aku berpikir bahwa aku seperti anak-anak. Pola pikirku masih terlalu kekanak-kanakan. Mungkin. Aku hanya membutuhkan ruang untuk melepaskan semua. Aku terlalu pengecut karena hanya menulis, tanpa menyampaikan apapun kepada mereka. Padahal mungkin jika dikatakan hal ini akan menjadi lebih mudah. Tapi ada beberapa hal yang aku yakini tidak perlu diungkapkan dengan kata-kata. Namun ini bukanlah sebuah pembelaan ataupun pembenaran terhadap sikap-sikapku.

Kerja keras tidak cukup, harus ada pengorbanan yang besar untuk mendapat sesuatu yang besar. Ikhlas dan sabar adalah sumber kekuatan yang dahsyat. Luruskan niat, Allah pasti akan selalu menyertai, Insya Allah. Ketika saatnya nanti, aku pasti akan sampai pada saat di mana aku akan berkata "AKU BERHASIL". Aamiin...Sehingga masa-masa sulitku akan menambah manisnya keberhasilan yang aku capai. Jangan mengeluh Fe, karena akan membuat semuanya terasa semakin berat.

Wednesday 3 December 2014

Perkawinan Beda Agama. Boleh tidak?

Jika kita melihat dari segi agama, terutama Agama Islam, tentu pernikahan beda agama merupakan hal yang dilarang. Karena pernikahan tersebut tidak sah, sehingga jika tetap dilanjutkan hubungan tersebut bersifat zina.

Dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan "Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu".
Dengan melihat isi dari pasal tersebut, kita mengintepretasikan bahwa jika menurut agama perkawinan tidak sah, maka perkawinan itu tidak bisa menjadi sah. Pasal ini menjelaskan syarat sah perkawinan secara materiil. Pasal ini juga tidak menjelaskan (secara eksplisit) bahwa perkawinan beda agama dilarang. Tetapi juga tidak ada pasal yang mengatur mengenai perkawinan beda agama tersebut. Lantas bagaimana? 

Hingga sekarang, bagi pasangan beda agama di Indonesia (terutama bagi mereka yang tergolong kaya), ketika akan meresmikan hubungan mereka ke jenjang pernikahan, mereka akan ke Luar Negeri. Kenapa demikian? Karena berdasarkan Hukum Perdata Internasional (HPI), perkawinan tersebut akan menggunakan hukum dari negara tempat dilangsungkannya perkawinan (lex loci celebration). Selain itu juga untuk menghormati hukum negara tersebut. Di Luar negeri perkawinan beda agama bukanlah suatu hal yang dilarang, sehingga dengan menggunakan hukum negara tersebut, perkawinan yang dilangsungkan sah. Hal itu baru berlaku bagi mereka saja yang melangsungkan perkawinan,. Untuk mengikat masyarakat Indonesia (karena setelah menikah mereka akan kembali ke Indonesia dan menjalankan kehidupan sebagai suami istri), perkawinan tersebut harus didaftarkan dan dicatakan dalam catatan sipil. Batas waktu pelaporan tersebut adalah paling lambat 1 tahun sejak perkawinan itu dilaksanakan. Jika melampaui batas waktu tersebut akan dikenakan sanksi administrasi.

Di atas telah disinggung mengenai syarat materiil sahnya perkawinan, padahal untuk sahnya perkawinan di Indonesia juga harus memenuhi syarat formil. Syarat formil sendiri diatur dalam pasal 12 UU Perkawinan, yang menyebutkan tentang kewajiban administrasi, yaitu dengan melakukan pendaftaran atau pencatatan perkawinan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perkawinan sah bukan hanya memenuhi syarat materiil saja, tetapi harus memenuhi syarat formil juga. Jika perkawinan tersebut tidak dicatatkan, maka menjadi tidak sah di mata hukum Indonesia.

Baru-baru ini ada mahasiswi dari salah satu universitas negeri di Indonesia yang mengajukan judicial review mengenai perkawinan beda agama. Menurut saya hal ini cukup aneh, mengingat seseorang yang mengajukan judicial review ke MK adalah mereka yang merasa dirugikan oleh sebuah Undang-undang. Pertanyaannya adalah, apakah dia dirugikan?sementara dia masih berstatus lajang alias belum menikah. Hal aneh lainnya adalah bahwa si gadis tersebut adalah seorang muslim yang mengenakan jilbab. Seorang muslim pasti tahu benar bahwa pernikahan beda agama dari segi agama sudah pasti dilarang. Dengan permohonan gadis tersebut apakah menjadi tanda bahwa Indonesia perlahan-lahan sudah menjadi negara Sekuler? Yang sudah sangat mengutamakan HAM dan tidak begitu mementingkan nilai-nilai agama?

Memang benar jika dilihat dari segi HAM, pernikahan beda agama seharusnya tidaklah dilarang. Dengan mengacu pada pasal 28B UUD 1945 yang berbunyi "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah". Bunyi pasal tersebut menjelaskan bahwa perkawinan merupakan hak semua orang, tanpa terkecuali. Dengan dituangkannya pasal tersebut dalam konstitusi Indonesia, maka hak tersebut harus dijamin oleh negara.

Namun demikian dapat saya simpulkan bahwa sampai sekarang memang peraturan mengenai perkawina beda agama belum diatur lebih lanjut, karena belum ada peraturan yang mengatur. Dalam UU Perkawinan yang selama ini menjadi pedoman perkawinan Indonesia, belum ada satu pasalpun yang mengatur secara eksplisit. Apakah ke depannya akan diatur atau tidak, kembali lagi kepada kehendak masyarakat Indonesia sendiri. tetapi menurut pendapat saya, peraturan/undang-undang harus tetap mengandung nilai-nilai agama, karena Indonesia adalah negara Pancasila yang dalam sila ke-1 menjelaskan bahwa bangsa Indonesia mempercayai adanya Tuhan. Sehingga segala kehidupan haruslah berdasarkan nilai-nilai agama.