Wednesday 3 December 2014

Perkawinan Beda Agama. Boleh tidak?

Jika kita melihat dari segi agama, terutama Agama Islam, tentu pernikahan beda agama merupakan hal yang dilarang. Karena pernikahan tersebut tidak sah, sehingga jika tetap dilanjutkan hubungan tersebut bersifat zina.

Dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan "Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu".
Dengan melihat isi dari pasal tersebut, kita mengintepretasikan bahwa jika menurut agama perkawinan tidak sah, maka perkawinan itu tidak bisa menjadi sah. Pasal ini menjelaskan syarat sah perkawinan secara materiil. Pasal ini juga tidak menjelaskan (secara eksplisit) bahwa perkawinan beda agama dilarang. Tetapi juga tidak ada pasal yang mengatur mengenai perkawinan beda agama tersebut. Lantas bagaimana? 

Hingga sekarang, bagi pasangan beda agama di Indonesia (terutama bagi mereka yang tergolong kaya), ketika akan meresmikan hubungan mereka ke jenjang pernikahan, mereka akan ke Luar Negeri. Kenapa demikian? Karena berdasarkan Hukum Perdata Internasional (HPI), perkawinan tersebut akan menggunakan hukum dari negara tempat dilangsungkannya perkawinan (lex loci celebration). Selain itu juga untuk menghormati hukum negara tersebut. Di Luar negeri perkawinan beda agama bukanlah suatu hal yang dilarang, sehingga dengan menggunakan hukum negara tersebut, perkawinan yang dilangsungkan sah. Hal itu baru berlaku bagi mereka saja yang melangsungkan perkawinan,. Untuk mengikat masyarakat Indonesia (karena setelah menikah mereka akan kembali ke Indonesia dan menjalankan kehidupan sebagai suami istri), perkawinan tersebut harus didaftarkan dan dicatakan dalam catatan sipil. Batas waktu pelaporan tersebut adalah paling lambat 1 tahun sejak perkawinan itu dilaksanakan. Jika melampaui batas waktu tersebut akan dikenakan sanksi administrasi.

Di atas telah disinggung mengenai syarat materiil sahnya perkawinan, padahal untuk sahnya perkawinan di Indonesia juga harus memenuhi syarat formil. Syarat formil sendiri diatur dalam pasal 12 UU Perkawinan, yang menyebutkan tentang kewajiban administrasi, yaitu dengan melakukan pendaftaran atau pencatatan perkawinan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perkawinan sah bukan hanya memenuhi syarat materiil saja, tetapi harus memenuhi syarat formil juga. Jika perkawinan tersebut tidak dicatatkan, maka menjadi tidak sah di mata hukum Indonesia.

Baru-baru ini ada mahasiswi dari salah satu universitas negeri di Indonesia yang mengajukan judicial review mengenai perkawinan beda agama. Menurut saya hal ini cukup aneh, mengingat seseorang yang mengajukan judicial review ke MK adalah mereka yang merasa dirugikan oleh sebuah Undang-undang. Pertanyaannya adalah, apakah dia dirugikan?sementara dia masih berstatus lajang alias belum menikah. Hal aneh lainnya adalah bahwa si gadis tersebut adalah seorang muslim yang mengenakan jilbab. Seorang muslim pasti tahu benar bahwa pernikahan beda agama dari segi agama sudah pasti dilarang. Dengan permohonan gadis tersebut apakah menjadi tanda bahwa Indonesia perlahan-lahan sudah menjadi negara Sekuler? Yang sudah sangat mengutamakan HAM dan tidak begitu mementingkan nilai-nilai agama?

Memang benar jika dilihat dari segi HAM, pernikahan beda agama seharusnya tidaklah dilarang. Dengan mengacu pada pasal 28B UUD 1945 yang berbunyi "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah". Bunyi pasal tersebut menjelaskan bahwa perkawinan merupakan hak semua orang, tanpa terkecuali. Dengan dituangkannya pasal tersebut dalam konstitusi Indonesia, maka hak tersebut harus dijamin oleh negara.

Namun demikian dapat saya simpulkan bahwa sampai sekarang memang peraturan mengenai perkawina beda agama belum diatur lebih lanjut, karena belum ada peraturan yang mengatur. Dalam UU Perkawinan yang selama ini menjadi pedoman perkawinan Indonesia, belum ada satu pasalpun yang mengatur secara eksplisit. Apakah ke depannya akan diatur atau tidak, kembali lagi kepada kehendak masyarakat Indonesia sendiri. tetapi menurut pendapat saya, peraturan/undang-undang harus tetap mengandung nilai-nilai agama, karena Indonesia adalah negara Pancasila yang dalam sila ke-1 menjelaskan bahwa bangsa Indonesia mempercayai adanya Tuhan. Sehingga segala kehidupan haruslah berdasarkan nilai-nilai agama.

No comments:

Post a Comment